Haflah Khotmil Qur'an

Haflah Khotmil Qur'an

Haflah Khotmil Qur'an

Haflah Khotmil Qur'an

Haflah Khotmil Qur'an

Sabtu, 21 Juni 2014

HAFLAH AKHIRUSSANAH DAN KHATAMAN KITAB AQIDATUL AWAM TAHUN 2014

                                    Prosesi khataman Kitab Aqidatul Awam dan Hidayatussibyan

                                      Khotimat berfoto dengan Pengasuh ( Ibu Nyai Nurul Isnaini )

                                 Khotimin berfoto dengan pengasuh ( Ustd. Abah Endarka Hana. S.H)

                                                                Santri Teladan Putra 2014

                                                                   SantriTeladan Putri 2014


Usai melaksanakan Imtihan Semester 2, Pondok pesantren (Ponpes) Al-Islam Gedongkiwo Mantrijeron, Yogyakarta, mengadakan acara ‘Hafalah Akhirussnah dan Penutupan Bimbingan Pasca Ujian Nasional (BPUN).Untuk tahun ini bersamaan dengan penutupan pesantren kilat dalam rangka bimbingan pasca ujian nasional yang diselenggarakan oleh komunitas Mata Air Yogyakarta, kegiatan BPUN ini diselenggarakan untuk mengahadapi SBMPTN tahun 2014. Kegiatan tahunan itu dilaksanakan guna memberi motivasi dan juga apresiasi kepada para santri dan santriwati yang berprestasi, 
Acara yang berlangsung pada tanggal 18 Juni 2014 ini, sebenarnya yang paling inti adalah Khataman Kitab Aqidatul Awam dan Hidayatussibyan, dimana akhir-akhir ini sudah jarang ditemukan santri yang mengkaji kitab itu, padahal kitab tersebut adalah kitab para ulama klasik/salaf untuk sebagai dasar pembelajaran tauhid dan tajwied bagai para santri pemula atau tingkat dasar.  Alhamdulilah untuk tahun ini, Madin dan Ponpes Al-Islam bisa melaksanakan khataman kitab-kitab tersebut dimana para khatimin adalah para santriwan/santriwati kelas i'dad(persiapan).Kegiatan tersebut berjalan cukup meriah, sekaligus mendapat tanggapan positif dari para santri. “Kegiatan ini dilaksanakan satu tahun sekali dan tak ubahnya seperti peringatan hari raya bagi para santri.” Tutur Nuril Huda, salah satu santri teladan putra tahun 2014 di pesantren Al-Islam. Hal yang senada juga disampaikan oleh santri puteri lainya Sayidaturofiah,, “Acara ini selalu dirindukan oleh para santri, dan sangat berguna bagi kami untuk mengasah bakat terpendam yang kami miliki.”
Puncak dari rangkaian kegiatan ini adalah pengajian akbar yang dihadiri oleh warga di sekitar Gedongkiwo Mantrijeron Yogyakarta dan para orang tua wali dari para santri. Ceramah keagamaan yang mendatangkan KH. Aris Munawar Dachlan dari Ponpes Al-Anwar, berisi tentang cerita inspiratif yang mampu menggugah semangat bagi para santri dalam mencari ilmu. Beliau, menyampaikan bahwa mencari ilmu itu harus bersabar dan istiqomah. Sebagai seorang santri juga wajib kiranya taat kepada guru dan mau mengamalkan ilmu yang kita miliki.
Beliau yang sempat menuntut ilmu di tanah Mekkah menjelaskan bahwa, di zaman sekarang ini banyak sekali penyimpangan agama yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya penting bagi para santri untuk memperluas wawasan keagamaan agar tidak mudah terjerumus kepada jalan yang sesat.
Selain untuk mengasah bakat sekaligus apresiasi bagi para santri, acara Haflah Akhirussanah ini juga bertujuan untuk mengakrabkan antara warga di sekitar lingkungan pesantren dengan para santri. Acara yang demikian masih akan diselenggarakan kembali tahun depan, dan akan menjadi acara rutinan yang diagendakan di pesantren yang diasuh oleh Ustad Abah Endarka Hana S.H itu. by SIF

Sabtu, 07 Juni 2014

Ruwahan di Gedongkiwo Nguri-Uri Budaya Jawa

Untuk menghidupkan tali silaturahmi dan persaudaraan antar tetangga, serta mengembalikan proses apeman yang njawani maka di lingkungan kampung Gedongkiwo Yogyakarta dilaksanakan Ruwahan Nguri-uri Budaya Jawa Di bulan Ruwah (Sya'ban) dengan kegiatan upacara dan lomba apeman pada tanggal 7 - 8 Juni 2014 kerja bareng EXPOLINER dan segenap komponen masyarakat Gedongkiwo. Turut berpartisipasi Pondok Pesantren Al Islam Yogyakarta.

Kegiatan diawali dengan lomba kebersihan lingkungan dan lomba membuat apem di setiap RT pada Sabtu, 7 Juni 2014 jam sekitar jam 19.30 WIB untuk membuat adonan apem dan menyiapkan segala yang diperlukan. Pada saat jam 19.30 WIB inilah dilakukan doa keselamatan miwiti ngebluk di pendopo Cokrosenan, setelah itu secara serempak peserta lomba apem mengerjakan ngebluk di wilayah RT masing-masing, sedang Dewan Yuri berkeliling kampung mendatangi tempat peserta berkumpul melakukan penilaian. Kemudian dilanjutkan dengan sarasehan tentang tradisi Sadranan/Ruwahan oleh narasumber yang mumpuni di bidangnya, diselingi musik tradisi terbangan/Hadroh dari Ponpes Al Islam Yogyakarta.


Di sepanjang jalan protokol Gedongkiwo selama dua hari dilaksanakan bazar dan pameran, memamerkan produk lokal baik kuliner, maupun kerajinan. Selanjutnya pada Ahad, 8 Juni 2014 jam 08.00 WIB digelar lomba mewarnai gambar bebas, dan sore jam 15.30 WIB dilaksanakan Kirab berpakaian tradisional dengan membawa ketan, kolak dan apem yang ditata di tambir mengelilingi kampung Gedongkiwo. Iring-iringan kirab dikawal oleh bergodo Daeng, music terbang, Hadroh, dan Drum Band Pondok Pesantren Al Islam Yogyakarta. Malam harinya jam 20.00 WIB digelar Majelis Muhyin Nufuus Sholawat Maulud Al Mahmud di Dalem pendopo Cokrosenan Gedongkiwo, Sekaligus Doa untuk orangtua dan para leluhur. Kemudian pada malam Nisfu Sya'ban insya Allah dilaksanakan Doa dan Dzikir bersama-sama dan Bersama-sama Dzikir di Pondok Pesantren Al Islam Yogyakarta komplek Thoriq Aqdam Avicena.

Juga pada Kamis, 12 Juni 2014 dilaksanakan Mujahadah Asmaul Husna di Masjid Agung Condronegaran Gedongkiwo
Selanjutnya pada 18 Juni 2014 dilaksanakan khataman kitab Aqidatul Awam bagi santri Madrasah Diniyah Al Islam di Pondok Pesantren Al Islam Yogyakarta Komplek Al Hikmah. Sedangkan Ziarah Qubur dilaksanakan pada 15 dan 20 Juni 2014.


Ziyaratul quburi mustahabbatun ‘alal jumlah littazakkuri wal i‘tibar.
Waziyaratu quburis shalihin mustahabbatun liajlit tabarruki ma‘al i‘tibar.

Ziarah kubur adalah sunah untuk mengingatkan manusia pada kematian dan membaca pertanda dihadapan mereka. Sedangkan menziarahi kubur orang sholeh adalah juga sunah untuk membaca pertanda di hadapan mereka dan mengalap berkah Allah. Begitu kata Imam Ghazali dalam Ihya Ulumud Din.

Tradisi budaya Jawa, memuliakan leluhur dengan Sadranan/Ruwahan. Disebut "Ruwahan" lantaran tradisi tersebut memang dilakukan pada bulan Ruwah dalam penanggalan Jawa Sultan Agung, atau bulan Sya'ban dalam penanggalan Hijriah, yaitu bulan sebelum memasuki bulan Ramadlon.

Mengabdi Untuk Berbakti


Sebagai anak kampung yang ingin mendarmabaktikan untuk kampung halaman dan para leluhur Gedongkiwo, mengabdi dan berbakti adalah keharusan. Bahwa tradisi Ruwahan adalah  suatu adat kebiasaan yang diturunkan oleh nenek moyang yang masih dijalankan oleh masyarakat sampai sekarang, Juga sesuatu yang dianggap bermakna baik dan atau luhur sampai dengan saat ini. Demikian "Nguri-Uri Budaya Jawa" berupa Sadranan/Ruwahan dilaksanakan dalam rangka mengabdi untuk berbakti.


Tradisi Ruwahan telah ada sebelum Islam masuk ke Indonesia, tepatnya pada masa kerajaan Majapahit dengan istilah Sradha (istilah yang digunakan oleh umat Hindu), untuk sebuah acara pemuliaan roh leluhur yang telah meninggal. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit, diselenggarakan upacara Sradha untuk memuliakan arwah ibundanya, Tribhuwana Tunggadewi.


Dalam Kitab Negara Kertagama dikisahkan pelaksanaan upacara Sradha, oleh raja ketiga Majapahit, Ratu Tribhuwana Tunggadewi. Dengan tujuan memberi penghormatan kepada arwah Ramanda Diah Sangramawijaya dan ketiga ibu prameswari. Demikianlah maka muncul tradisi dan terkenal dengan istilah Nyadran atau Sadranan di masyarakat Jawa, yang pada hakekatnya tradisi Nyadran atau Ruwahan, tidak lain adalah untuk mengirim doa kepada leluhur yang telah meninggal.


Bagaimana Pandangan Islam


Ruwahan merupakan tradisi dalam ajaran Hindu. Ritualnya sendiri meliputi ritual keliling desa, ritual bersih desa hingga bersih kubur, ritual kenduri, ritual ziarah kubur dan berakhir dengan ritual padusan/mandi. Dalam tradisi tersebut yang diagungkan adalah roh-roh penunggu punden desa, roh nenek moyang dan para dewa.

Ketika islam pertama kali diperkenalkan kepada nenek moyang kita oleh para wali, tradisi ruwahan ini tetap dipertahankan khususnya nilai-nilai luhur yang sejalan dengan ajaran Islam secara ibadah horizontalnya, namun sudah dibedakan NIAT bukan lagi mengagungkan roh atau dewa, namun semata-mata ibadah karena Allah SWT dalam bentuk ukhuwah, shodaqoh, ziarah kubur, doa anak shaleh, dsb.


Di bawah ini nama-nama bulan Jawa Islam. Sebagian nama bulan diambil dari Kalender Hijriyah, dengan nama-nama Arab, namun beberapa di antaranya menggunakan nama dalam bahasa Sanskerta seperti Pasa, Sela dan kemungkinan juga Sura. Sedangkan nama Apit dan Besar berasal dari bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Nama-nama ini adalah nama bulan kamariah atau candra (lunar). Penamaan bulan sebagian berkaitan dengan hari-hari besar yang ada dalam bulan hijriah, misalnya Pasa berkaitan dengan puasa Ramadhan, Mulud berkaitan dengan Maulid Nabi pada bulan Rabi'ul Awal, dan Ruwah berkaitan dengan Nisfu Sya'ban dimana dianggap amalan dari ruh selama setahun dicatat.

NoPenanggalan JawaLama Hari
1Sura30
2Sapar29
3Mulud30
4Bakda Mulud29
5Jumadilawal30
6Jumadilakir29
7Rejeb30
8Ruwah (Arwah, Saban)29
9Pasa (Puwasa, Siyam, Ramelan)30
10Sawal29
11Sela (Dulkangidah, Apit) *30
12Besar (Dulkahijjah)29/(30)
Total354/(355)
Ruwah adalah bulan ke 8 dalam kalender Jawa, yg sistem penanggalannya memakai sistem peredaran bulan. Karena sama-sama memakai sistem penanggalan bulan atau Qomariyah, maka bulan ini pun jadi identik dengan bulan ke 8 dalam kalender Islam, yakni bulan Sya’ban. Identik, tapi tidak sama. Karena penanggalan Jawa berganti tanggalnya setelah lepas tengah hari bolong, atau setelah masuk waktu sholat Dluhur sekitar jam 13-14. Sedangkan dalam penanggalan Islam bergesernya tanggal adalah selepas terbenamnya matahari, atau sama dengan masuk waktu sholat Maghrib.

Ary Budiyanto dalam suatu makalahnya, “Kearifan tradisi Ruwahan”, dalam ajaran para wali tradisi ruwahan tersebut telah banyak bergeser ke ajaran Islam dengan pemaknaan tertentu, misal :
  • tradisi nyadran (ziarah kubur), dimanifestasikan untuk mengingat kpd datangnya kematian dan memicu kesiapan bekal kita untuk masa hidup setelah kematian tersebut.
  • tradisi nyadran juga dimanifestasikan sebagai wujud amalan bakti anak yang shaleh kepada ortunya, sebagai amal yg tak putus2 (birul walidain).
  • bersih desa, lebih menitik beratkan kpd kegotong royongan dan guyub rukunnya warga untuk memelihara lingkungannya (ukhuwah) agar jadi bersih dan lebih indah ketika bulan puasa nantinya. Kebersihan sendiri merupakan salah satu wujud keimanan, bukan?
  • kenduri dan megengan (kirim-kirim hantaran makanan; yang di tradisi Aceh harus dengan daging = “meugang”) adalah manifestasi dari paktik doa bagi semua keluarga sanak saudaranya yang masih hidup dengan saling bersilaturahmi, saling memaafkan dan membantu untuk siap memasuki ibadah puasa dengan rasa yang suci penuh suka cita menjadi kesadaran orang Islam Jawa
  • Pada acara nyadran bebungaan ditaburkan di atas pusara mereka yang kita cintai, karena itu nyadran juga disebut nyekar (menghantarkan bunga). Indahnya warna-warni bunga dan keharumannya menjadi simbol bagi orang Jawa untuk selalu mengenang semua yang indah dan yang baik dari diri mereka yang telah mendahului.
  • mandi untuk mensucikan diri dari hadats besar, sehingga lengkaplah kesiapannya menapaki ibadah puasa nantinya.
Dengan demikian, ritus itu memberikan semangat bagi yang masih hidup untuk terus berlomba-lomba demi kebaikan (fastabiqul khoirat).

Bahkan di daerah kota santri di pantura, Tradisi megengan di bulan Ruwah yang bisa jadi berlangsung seminggu sebelum Puasa tidak hanya menciptakan relasi kesalehan sosial di masyarakat Jawa, namun tradisi ini juga menumbuhkan relasi putaran perekonomian. Pasar kaget ruwahan seperti halnya Dugderan di Semarang atau Dhandangan di Kudus, muncul sebagai dampak kebutuhan masyarakat pada waktu itu untuk menyemangati anak-anak dan keluarganya, misal untuk membelikan sarung, mukena, jilbab dan peci yang baru, kitab Quran yang baru, dan kain-kain untuk mengganti mihrab di surau dan masjid desa, atau agar dapat membeli bahan-bahan kebutuhan selama awal-awal minggu di bulan puasa. (inget kan dulu pasar tak setiap hari atau setiap jam buka seperti sekarang?)

Di dalam masyarakat Jawa sendiri setiap tindakannya erat sekali dengan simbol-simbol, dalam rangka untuk lebih memaknai suatu ibadahnya. Sebagai misal dalam tradisi megengan biasanya ada hantaran ke tetangga atau kerabat saudara, isi hantaran tradisi megengan di Jawa ini tidak pernah meninggalkan tiga sajian makanan yakni ketan, kolak, dan apem. Makna dari ketiga makanan itu adalah :
  • ketan yang lengket merupakan simbol mengeratkan tali silaturahmi,
  • kolak yang manis bersantan mengajak persaudaraan bisa lebih ‘dewasa’ dan barokah penuh kemanisan,
  • dan apem berarti jika ada yang salah maka sekiranya bisa saling memaafkan (ahfum).
Bahkan di beberapa tempat yang mayoritas warganya bekerja atau bertempat tinggal di luar daerahnya, di dalam tradisi ruwahan juga mengenal Mudik Ruwahan.
Mudiknya orang Jawa untuk ruwahan tak ubahnya sedang mereplika sirah Nabi Muhammad ketika beliau dan para sahabatnya hijrah ke Yatsrib atau Madinah, yakni mudik untuk melakukan tiga hal yang dibangun untuk mengukuhkan iman keislaman yakni mendirikan masjid, pasar, dan mengikat tali persaudaraan.

Selama ibadah tersebut berarah horizontal, perbedaan pelaksanaan antara daerah satu dengan lainnya tentu tak layak jika serta merta dituding sebagai penyakit TBC (Takhayul, Bidáh dan Churafat). Ingat bahwa kunci dari semua amalan adalah NIAT?

Berbakti kepada kedua orangtua tidak hanya sebatas ketika mereka masih hidup, tetapi berlanjut sampai keduanya meninggal. Ruwahan merupakan salah satu bentuk Birrul Walidain, dengan melakukan doa dan ziarah kubur kepada orangtua, kerabat dan leluhur yang telah meninggal.


Diriwayatkan dari Abu Usaid Malik ibnu Rabi'ah as-Sa'idi, ia berkata, "Ketika kita duduk bersama di samping Rasulullah SAW. tiba-tiba datang seorang laki-laki dari bani Salamah dan berkata, 'Wahai Rasulullah, masih adakah amalan yang harus saya lakukan untuk berbakti kepada bapak dan ibu setelah mereka meninggal?' Kemudian beliau menjawab, 'Ya, yaitu mengerjakan shalat untuk kedua orangtua (maksudnya mendoakan kedua orangtua atau menshalati jenazahnya). memohon ampunan atas segala dosanya, melaksanakan janji mereka setelah mereka meninggal, meneruskan tali silaturahmi yang pernah dilakukan orangtua ketika masih hidup, dan memuliakan kawan-kawannya." (HR Abu Dawud dalam Sunan-nya dan Ahmad dalam Musnad: 3/398)

Diriwayatkan dari Anas bin Malik, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda, "Seorang hamba berbuat durhaka kepada orangtuanya sampai kedua orangtuanya atau salah satunya meninggal dunia. Lalu dia terus berdoa memintakan ampunan untuk kedua orangtuanya, sehingga akhirnya Allah SWT mencatatnya sebagai anak yang berbakti." (HR. Baihaqi dalam Syu'abul Iman)


Diriwayatkan dari Malik bin Zararah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Meminta ampunan yang dilakukan oleh seorang anak untuk kedua orangtuanya setelah keduanya meninggal adalah termasuk bentuk berbakti kepada orangtua." (HR Ibnu an-Najjar)


Maada fii sya'ban ?

Ada apa di bulan Sya'ban 


Allaahumma Bariklana fii Rojaba Wa Sya'bana Wa Balighna Romadlona


Bersambung ...


*) Dari berbagai sumber:

  1. Pengajian Abah Hana
  2. http://sosbud.kompasiana.com/2014/06/04/tradisi-ruwahan-kenapa-tidak-659745.html
  3. http://id.wikipedia.org/wiki/Kalender_Jawa

Jumat, 06 Juni 2014

Sarasehan Nasional : Dialog Kebangsaan

Dialog kebangsaan dalam sarasehan Nasional dilaksanakan di Pondok Pesantren Al Islam Yogyakarta pada Jum'at, 6 Juni 2014 dengan narasumber Prof . Dr. Alwi Sihab.

"MENGABDI UNTUK BERBAKTI"

___________________________

Powered by: Blogger