Haflah Khotmil Qur'an

Haflah Khotmil Qur'an

Haflah Khotmil Qur'an

Haflah Khotmil Qur'an

Haflah Khotmil Qur'an

Kamis, 26 Januari 2012

Puasa Hari Jum'at


Mengapa hari Jum’at dilarang puasa, kecuali di bulan Ramadlon ?

Pertama, hari Jum’at bagi orang Islam adalah hari raya, Hal ini didasarkan pada hadits: “Yaumul Jum’ati yaumu ‘iidikum”
Artinya: “Hari Jum’at itu hari raya kalian. (Marfu’a dari Abu Hurairah).

Kedua, hari Jum’at adalah hari untuk makan dan minum serta hari untuk berdzikir. Berdasarkan pada hadits: “Laa tashum yaumal jum’ati Fainnahu yaumu ikli wa syurbi wa dzikri.”
Artinya: “Janganlah berpuasa pada hari Jum’at karena sesungguhnya itu hari untuk makan, minum dan dzikir.” (Ibnu Abi Syaibah dari Ali)

Hal yang perlu diperhatikan bahwa larangan berpuasa pada hari Jum’at sifatnya bukan larangan yang berimplikasi haram, melainkan larangan yang berimplikasi makruh. Maka seandainya berpuasa pada hari Jum’at dengan ketentuan berpuasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya tidak ada larangan berpuasa.

Rabu, 25 Januari 2012

Keutamaan Shalawat


Di antara hal yang paling agung untuk mendapatkan kemudahan dalam hidup adalah selalu memperbanyak shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW. Hal ini dijelaskan sendiri oleh Nabi SAW, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata, “Aku berkata kepada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku banyak bershalawat, lalu berapa yang harus aku berikan dari shalawatku untukmu?
Beliau menjawab, ‘Sekehendak yang engkau inginkan.’
Aku bertanya, ‘Seperempat?’
Nabi SAW berkata, ‘Sekehendakmu. Bila engkau tambah, niscaya itu lebih baik bagimu.’
Aku bertanya lagi, ‘Sepertiga?’
Nabi SAW berkata, ‘Sekehendakmu. Bila engkau tambahkan lagi, niscaya itu lebih baik bagimu.’
Aku tanyakan lagi, ‘Setengah?’
Beliau menjawab, ‘Sekehendakmu. Bila engkau tambah, niscaya itu lebih baik bagimu.’
Lalu aku berkata, Aku peruntukkan shalawatku untukmu seluruhnya.’
Beliaupun bersabda, Jika demikian, kebutuhanmu akan dipenuhi dan dosamu pun akan dihapuskan.” (H.R. Ahmad, At-Tirmidsi, dan Al-Hakim serta menshahihkannya).

Mengharap Berkah Sang Pemilik Kemuliaan



Nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada kita adalah nikmat iman dan Islam, yang berarti juga nikmat dijadikan sebagai umat Nabi Muhammad SAW. Kita menyadari, meski begitu berlimpahnya nikmat yang Allah berikan kepada kita, ternyata dosa-dosa kita sangat banyak dan amal shalih kita sangat sedikit. Tentu ini sangat mengkhawatirkan. Semestinya rasa takut di hati kita lebih besar dibandingkan harapan yang ada. Mau tidak mau kita harus mencari sandaran yang dapat menyelamatkan, dan salah satunya yang terpenting adalah bersandar kepada Pemimpin para Rasul dan Kekasih Tuhan sekalian alam, Rasulullah SAW.
Cara terbaik adalah dengan banyak membaca shalawat kepada beliau. Terlepas dari keadaan kita, apakah banyak dosa atau tidak, apakah amalnya banyak atau sedikit, tetap saja shalawat sangat penting dan sangat bernilai bagi kita. Mengapa ? Karena, selain menunjukkan kecintaan kepada beliau, yang sangat berjasa bagi kita, manfaatnya juga kembali keoada kita, bahkan kitalah sesungguhnya yang lebih mendapatkan keuntungan.
Banyak hadits yang memerintahkan dan mendorong kita untuk bershalawat, bahkan banyak-banyak bershalawat, kepada Nabi SAW. Dalam sebuah hadits dikatakan, “Barang siapa bershalawat kepadaku satu kali, niscaya Allah akan bershalawat (menurunkan rahmat) kepadanya sepuluh kali.” Demikian hadits yang diriwayatkan oleh Muslim. Dalam hadits lain dikatakan, “Di mana kalian berada, bershalawatlah kepadaku, karena shalawat kalian pasti sampai kepadaku.” Demikian pula dalam hadits yang menyebutkan, “Barang siapa bershalawat kepadaku, niscaya shalawatnya sampai kepadaku dan aku akan bershalawat kepadanya, dan selain itu dituliskan baginya sepuluh kebaikan.”
Shalawat kepada Nabi SAW sangat ditekankan di setiap waktu dan lebih ditekankan lagi pada hari dan malam Jum’at. Sebuah hadits menyebutkan, “Perbanyaklah shalawat kalian kepadaku pada hari Jum’at dan malam Jum’at. Maka barang siapa yang bershalawat kepadaku satu kali, Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali.” Dalam hadits lain dikatakan, “Perbanyaklah shalawat kalian kepadaku pada hari Jum’at, karena shalawat kalian diperlihatkan kepadaku pada setiap hari Jum’at. Maka barang siapa paling banyak shalawatnya kepadaku, berarti paling dekat kedudukannya denganku.”
Apakah perintah dan dorongan untuk membaca shalawat hanya terdapat dalam hadits? Tidak, secara tegas ayat Al-Qur’an juga menekankan hal itu. Allah berfirman dalam Q.S 33 : 56  (Al-Qur'an Surat Al-Ahzab ayat 56 ) :
¨ ¨bÎ) ©!$# ¼çmtGx6Í´¯»n=tBur tbq=|Áムn?tã ÄcÓÉ<¨Z9$# 4 $pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#q=|¹ Ïmøn=tã  (#qßJÏk=yur $¸JŠÎ=ó¡n@ ÇÎÏÈ

Artinya : Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi[1229]. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya[1230].

[1229] Bershalawat artinya : kalau dari Allah berarti memberi rahmat : dari Malaikat berarti memintakan ampunan dan kalau dari orang-orang mukmin berarti berdoa supaya diberi rahmat seperti dengan perkataan : Allahuma shalli ala Muhammad.
[1230] Dengan mengucapkan Perkataan seperti : Assalamu'alaika ayyuhan Nabi artinya : semoga keselamatan tercurah kepadamu Hai Nabi.

Perhatikanlah, perintah tersebut didahului oleh pernyataan yang tegas bahwa Allah pun bershalat kepadanya, begitu pula dengan para malaikat-Nya. Tentu makna shalawat Allah berbeda dengan shalawat kita. Terlepas dari hal itu, perintah yang jelas tersebut, yang didahului dengan pernyataan yang tegas itu, pasti mengandung sesuatu yang sangat berarti, dan karenanya harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Pernahkah kita merenungkannya?
Meskipun tampaknya dengan shalawat yang kita ucapkan kita mendoakan Rasulullah SAW, pada hakikatnya kita mendoakan diri kita sendiri. Selain menandakan kecintaan kepada Rasulullah SAW, dengan bershalawat berarti kita memberikan perhatian terhadap kepentingan kita sendiri.
Secara umum semua shalawat memiliki keutamaan-keutamaan yang besar. Di samping itu, masing-masing shalawat secara khusus memiliki keutamaan dan keistimewaan tersendiri. Untuk mendapatkan manfaat-manfaat yang umum dan khusus itu kita bisa membaca berbagai shalawat yang sangat dikenal dan banyak diamalkan orang dimana-mana beserta penjelasannya. Seperti tersebut dalam kitab Afdhal ash-Shalawat ‘ala Sayyid as-Sadat, karya Asy-Syaikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani, dan kitab Mafatih as-Sa’adat fi ash-Shalawat ‘ala Sayyid as-Sadat, susunan Al-Habib Abu Bakar bin Abdullah bin ‘Alwi Al-Attas.
Marilah kita jadikan bulan Maulid (Rabbiul Awwal), sebagai kesempatan untuk menunjukkan kecintaan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, yang salah satu caranya dengan banyak bershalawat kepada beliau. Selanjutnya kita menjadikannya sebagai wirid sehari-hari, bukan saja di bulan Maulid, tetapi juga setiap bulan, bahkan setiap hari, demi mendapatkan keuntungan yang tak terhingga banyaknya.
  

Kamis, 05 Januari 2012

Pacaran *)


Pacaran identik dengan hubungan asmara yang dilakukan oleh lawan jenis yang bukan mahrom. Apapun jalan yang digunakan dalam pacaran meski tidak sampai terjadi kholwat atau nadhor secara umum tidak diperbolehkan, ini semata-mata untuk menghindari hal-hal dan akibat yang nanti akan terjadi.

Imam syafi’I mengatakan “Daf’ul mafasid muqoddamun ‘ala jalbi Al-Masholih” artinya, menolak kejelekan yang akan terjadi itu diutamakan dari pada mengambil manfaat. Kaidah ini kalupun nantinya dalam komunikasi ada beberapa keuntungan positif yang diperoleh, lalu apakah dalam komunikasi antar jenis terdapat manfaat yang sesuai dengan agama?.

Bahkan kalau ditilik dari sisi yang lain dalam pacaran terdapat unsur-unsur cerita percintaan / asmara. Kaitannya dalam hal ini fiqh melarang seseorang menceritakan atau mempublikasikan hal-hal seperti itu.

Lain halnya apabila komunikasi tersebut mengandung unsur da’wah atau lainnya, maka masih ada celah diperbolehkannya, namun sekali lagi pacaran adalah hubungan asmara tidak yang lainnya. (Fawaaidul janiyyah;153)

Adakah Pacaran Islami … . ?

a. Islam Mengakui Rasa Cinta

Islam mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Ketika seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah Yang Kuasa. Termasuk rasa cinta kepada wanita (lawan jenis) dan lain-lainnya.
Dalam Al Qur'an dinyatakan :

z`Îiƒã Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# šÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎŽÏÜ»oYs)ø9$#ur ÍotsÜZs)ßJø9$# šÆÏB É=yd©%!$# ÏpžÒÏÿø9$#ur È@øyø9$#ur ÏptB§q|¡ßJø9$# ÉO»yè÷RF{$#ur Ï^öysø9$#ur 3 šÏ9ºsŒ ßì»tFtB Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( ª!$#ur ¼çnyYÏã ÚÆó¡ãm É>$t«yJø9$# ÇÊÍÈ  
Artinya : “Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik .” (QS. Ali Imran :14).


Khusus kepada wanita, Islam menganjurkan untuk mengejawantahkan rasa cinta itu dengan perlakuan yang baik, bijaksana, jujur, ramah dan yang paling penting dari semau itu adalah penuh dengan tanggung-jawab. Sehingga bila seseorang mencintai wanita, maka menjadi kewajibannya untuk memperlakukannya dengan cara yang paling baik.

Rasulullah SAW bersabda,”Orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap pasangannya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap istriku”.

b. Cinta Kepada Lain Jenis Hanya Ada Dalam Wujud Ikatan Formal

Namun dalam konsep Islam, cinta kepada lain jenis itu hanya dibenarkan manakala ikatan di antara mereka berdua sudah jelas. Sebelum adanya ikatan itu, maka pada hakikatnya bukan sebuah cinta, melainkan nafsu syahwat dan ketertarikan sesaat.

Sebab cinta dalam pandangan Islam adalah sebuah tanggung jawab yang tidak mungkin sekedar diucapkan atau digoreskan di atas kertas surat cinta belaka. Atau janji muluk-muluk lewat SMS, chatting dan sejenisnya. Tapi cinta sejati haruslah berbentuk ikrar dan pernyataan tanggung-jawab yang disaksikan oleh orang banyak.

Bahkan lebih ‘keren’nya, ucapan janji itu tidaklah ditujukan kepada pasangan, melainkan kepada ayah kandung wanita itu. Maka seorang laki-laki yang bertanggung-jawab akan berikrar dan melakukan ikatan untuk menjadikan wanita itu sebagai orang yang menjadi pendamping hidupnya, mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya dan menjadi `pelindung` dan ‘pengayomnya`. Bahkan `mengambil alih` kepemimpinannya dari bahu sang ayah ke atas bahunya.

Dengan ikatan itu, jadilah seorang laki-laki itu `the real gentleman`. Karena dia telah menjadi suami dari seorang wanita. Dan hanya ikatan inilah yang bisa memastikan apakah seorang laki-laki itu betul serorang gentleman atau sekedar kelas laki-laki iseng tanpa nyali. Beraninya hanya menikmati sensasi seksual, tapi tidak siap menjadi the real man.

Dalam Islam, hanya hubungan suami istri sajalah yang membolehkan terjadinya kontak-kontak yang mengarah kepada birahi. Baik itu sentuhan, pegangan, cium dan juga seks. Sedangkan di luar nikah, Islam tidak pernah membenarkan semua itu. Kecuali memang ada hubungan `mahram` (keharaman untuk menikahi). Akhlaq ini sebenarnya bukan hanya monopoli agama Islam saja, tapi hampir semua agama mengharamkan perzinaan. Apalagi agama Kristen yang dulunya adalah agama Islam juga, namun karena terjadi penyimpangan besar sampai masalah sendi yang paling pokok, akhirnya tidak pernah terdengar kejelasan agama ini mengharamkan zina dan perbuatan yang menyerampet kesana.

Sedangkan pemandangan yang kita lihat dimana ada orang Islam yang melakukan praktek pacaran dengan pegang-pegangan, ini menunjukkan bahwa umumnya manusia memang telah terlalu jauh dari agama. Karena praktek itu bukan hanya terjadi pada masyarakat Islam yang nota bene masih sangat kental dengan keaslian agamanya, tapi masyakat dunia ini memang benar-benar telah dilanda degradasi agama.

Barat yang mayoritas nasrani justru merupakan sumber dari hedonisme dan permisifisme ini. Sehingga kalau pemandangan buruk itu terjadi juga pada sebagian pemuda-pemudi Islam, tentu kita tidak melihat dari satu sudut pandang saja. Tapi lihatlah bahwa kemerosotan moral ini juga terjadi pada agama lain, bahkan justru lebih parah.

c. Pacaran Bukan Cinta

Melihat kecenderungan aktifitas pasangan muda yang berpacaran, sesungguhnya sangat sulit untuk mengatakan bahwa pacaran itu adalah media untuk saling mencinta satu sama lain. Sebab sebuah cinta sejati tidak berentu sebuah perkenalan singkat, misalnya dengan bertemu di suatu kesempatan tertentu lalu saling bertelepon, tukar menukar SMS, chatting dan diteruskan dengan janji bertemuan langsung.

Semua bentuk aktifitas itu sebenarnya bukanlah aktifitas cinta, sebab yang terjadi adalah kencan dan bersenang-senang. Sama sekali tidak ada ikatan formal yang resmi dan diakui. Juga tidak ada ikatan tanggung-jawab antara mereka. Bahkan tidak ada ketentuan tentang kesetiaan dan seterusnya.

Padahal cinta itu memiliki, tanggung-jawab, ikatan syah dan sebuah harga kesetiaan. Dalam format pacaran, semua instrumen itu tidak terdapat, sehingga jelas sekali bahwa pacaran itu sangat berbeda dengan cinta.

d. Pacaran Bukanlah Penjajakan / Perkenalan

Bahkan kalau pun pacaran itu dianggap sebagai sarana untuk saling melakukan penjajakan, perkenalan atau mencari titik temu antara kedua calon suami istri, bukanlah anggapan yang benar. Sebab penjajagan itu tidak adil dan kurang memberikan gambaran sesungguhnya dari data yang diperlukan dalam sebuah persiapan pernikahan.

Dalam format mencari pasangan hidup, Islam telah memberikan panduan yang jelas tentang apa saja yang perlu diperhitungkan. Misalnya sabda Rasulullah SAW tentang 4 kriteria yang terkenal itu.

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW berdabda, ”Wanita itu dinikahi karena 4 hal : [1] hartanya, [2] keturunannya, [3] kecantikannya dan [4] agamanya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat". (HR. Bukhari Kitabun Nikah Bab Al-Akfa’ fiddin nomor 4700, Muslim Kitabur-Radha’ Bab Istihbabu Nikah zatid-diin nomor 2661)

Selain keempat kriteria itu, Islam membenarkan bila ketika seorang memilih pasangan hidup untuk mengetahui hal-hal yang tersembunyi yang tidak mungkin diceritakan langsung oleh yang bersangkutan. Maka dalam masalah ini, peran orang tua atau pihak keluarga menjadi sangat penting.

Inilah proses yang dikenal dalam Islam sebagai ta’aruf. Jauh lebih bermanfaat dan objektif ketimbang kencan berduaan. Sebab kecenderungan pasangan yang sedang kencan adalah menampilkan sisi-sisi terbaiknya saja. Terbukti dengan mereka mengenakan pakaian yang terbaik, bermake-up, berparfum dan mencari tempat-tempat yang indah dalam kencan. Padahal nantinya dalam berumah tangga tidak lagi demikian kondisinya.

Istri tidak selalu dalam kondisi bermake-up, tidak setiap saat berbusana terbaik dan juga lebih sering bertemua dengan suaminya dalam keadaan tanpa parfum. Bahkan rumah yang mereka tempati itu bukanlah tempat-tempat indah mereka dulu kunjungi sebelumnya. Setelah menikah mereka akan menjalani hari-hari biasa yang kondisinya jauh dari suasana romantis saat pacaran.

Maka kesan indah saat pacaran itu tidak akan ada terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, pacaran bukanlah sebuah penjajakan yang jujur, sebaliknya sebuah penyesatan dan pengelabuhan.

Dan tidak heran kita dapati pasangan yang cukup lama berpacaran, namun segera mengurus perceraian belum lama setelah pernikahan terjadi. Padahal mereka pacaran bertahun-tahun dan membina rumah tangga dalam hitungan hari. Pacaran bukanlah perkenalan melainkan ajang kencan saja.


Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.



*) FMPPL

Doa setelaha Shalat Dhuha



Setelah kita melakukan shalat Dhuha, di antara doanya yang dapat kita baca adalah sebagai berikut :

Bismillaahir-rahmaanir-rahiim.

Alhamdu lillaahi rabbil-‘aalamiin. Allaahumma shalli wa sallim ‘ala sayyidinaa muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa man tabi’ahu bi-ihsaanin ila yaumid-din.

Allahumma innadh-dhuhaa-a dhuhaa-uka wal-bahaa-a bahaa-uka wal-jamaala jamaaluka wal qudrata qudratuka wal-‘ishmata ‘ishmatuka.

Allahumma in kaana rizqii fis-samaa-i fa anzilhu wa in kaana fil ardhi fa akhrijhu wa in kaana haraaman faththahhirhu wa in kaana ba’iidan faqarribhu wa in kaana mu’siran fayassirhu bihaqqi dhuhaa-ika wa bahaa-ika wa jamaalika wa qudratika yaa arhamar-rahimiin.

Washallallaahu wa sallama ‘alaa sayyidinaa muhammadin wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa man tabi’ahu bi-ihsaanin ila yawmid-diin.

Artinya :

Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Segala puji milik Allah, Tuhan sekalian alam. Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam kepada junjungan kami, Nabi Muhammad, serta kepada keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikutinya, dengan kebajikan sampai hari kiamat.

Ya Allah, sesungguhnya waktu dhuha adalah waktu dhuha-Mu, kebagusan adalah kebagusan-Mu, keindahan adalah keindahan-Mu, dan penjagaan adalah penjagaan-Mu.

Ya Allah, jika rizqiku ada di langit, turunkanlah. Jia ia ada di bumi, keluarkanlah. Jika ia haram, sucikanlah. Berkat waktu dhuha-Mu, kebagusan-Mu, keindahan-Mu, dan kekuasaan-Mu, wahai Yang Paling penyayang di antara yang penyayang.

Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada junjungan kami, Nabi Muhammad, serta kepada keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikutinya, dengan kebajikan sampai hari kiamat.




"MENGABDI UNTUK BERBAKTI"

___________________________

Powered by: Blogger