Haflah Khotmil Qur'an

Haflah Khotmil Qur'an

Haflah Khotmil Qur'an

Haflah Khotmil Qur'an

Haflah Khotmil Qur'an

Sabtu, 25 Januari 2014

Pelatihan Rajut

Santriwati PP Al Islam pelatihan ketrampilan Rajut benang, kegiatan perdana dilakukan pada 24 Januari 2014 bersama dengan Muslimat Kecamatan Matrijeron Yogyakarta di PP Al Islam dan dilaksanakan setiap hari Jum'at. Pelatihan di bimbing oleh Hj. Ririn dan Ibu Nur.

Menurut Pengasuh PP Al Islam dalam pengantar dan sambutannya menyatakan, kegiatan ini dalam rangka membekali santri dengan ketrampilan(soft skill), dengan mengambil pelajaran dari kisah umat terdahulu, bahwa Islam mewajibkan umatnya bekerja, mengendalikan dan mengoptimalkan daya pikir dan ketrampilan (jiwa dan raga). Insya Allah para santri memiliki bekal ilmu agama, ketrampilan, dan calon Juragan. Dalam kitab Ta'lim disebutkan "belajar dahulu, pandai, sehat, dan kaya".

Bagaimana dengan Nabi Dawud As. adalah tukang Tenun, membauat kain dan baju besi, Nabi Adam As. adalah seorang petani, Nabi Nuh As. adalah Tukang kayu, Nabi Idris As. adalah seorang penjahit pertama di dunia, Nabi Ibrahim As, adalah pedagang pakaian, Nabi Musa As. adalah penggembala, Nabi Muhammad SAW. adalah penggembala ternak suku Quraiys, dan bahkan Nabi Sulaiman As. biasa berkhutbah sambil membuat anyaman keranjang belanja dari janur atau kerajinan lainnya yang kalau sudah jadi kemudian di jual.

Sedangkan Ibu Hj. Ririn menyambut gembira dengan pelatihan ini bahkan akanberusaha memfasilitasi proses pelatihan ini lewat showroom dan koperasi yang telah ada, insya Allah bisa melaksanakan rukun Islam ke 5 (Haji) dengan ketrampilan rajut benang ini, Aamiin sambung para santriwati AL ISLAM.



Selasa, 21 Januari 2014

Bekal Terindah bagi Perindu Husnul Khatimah

Judul kitab : Nashaih al-‘Ibad Syarh al-Munbbihat ‘ala al-Istimdad li Yaum al-Ma‘ad li Al-Imam Syihab ad-Din Ahmad ibn Hajar 

Penulis : Syaikh Muhammad An-Nawawi bin Umar Al-Jawi

Penerbit : Penerbit Maktabah Karya Thoha Putra, Semarang


“Ya Allah, muliakanlah umat Nabi Muhammad ini dengan semua anugerah-Mu di dunia dan akhirat sebagai bentuk penghormatan dari-Mu bagi mereka yang telah Engkau jadikan sebagai bagian dari umat Baginda Nabi SAW.”

Syaikh Nawawi bin Umar Al-Jawi, menjelaskan ungkapan Imam Ibnu Hajar RA, berkata, “Imam Ibnu Hajar RA berkata, ‘Telah mengijazahkan kepadaku Sayyidi As-Sayyid Ahmad Al-Mirshafi Al-Mishri se­telah sebelumnya aku diijazahi oleh guru­ku, Sayyidi As-Sayyid Abdul Wah­hab bin Ahmad Farhat Asy-Syafi`i, dari masyayikh mereka, secara musalsal bil awwaliyah, sampai kepada Abdullah bin Umar bin Ash` dari Nabi SAW, bahwa be­liau, Sayyi­dul Akhlaq wal Khalaiq (Penghulu sekalian Akhlaq Mulia dan se­kalian Makhluk), SAW bersabda, ‘Orang-orang yang hatinya pe­nuh kasih sayang disayangi oleh Yang Maha Pemilik kasih sayang Tabaraka wa Ta`ala. Maka sa­yangi dan kasihilah siapa pun yang ada di muka bumi, niscaya kalian akan di­sayangi dan dikasihi oleh siapa pun yang ada di langit.’”
Imam Ali bin Abi Thalib RA berkata, “Jadilah engkau di sisi Allah sebaik-baik manusia dan jadilah engkau dalam pan­dangan nafsu seburuk-buruk manusia dan jadilah engkau seseorang di antara manusia.”
Makna ungkapan Imam Ali bin Abi Thalib, “Jadilah engkau di sisi Allah se­baik-baik manusia dan jadilah engkau da­lam pandangan nafsu seburuk-buruk ma­nusia”, janganlah pernah merasa me­miliki kemuliaan yang membuatmu me­rasa lebih baik dari orang lain.
Makna ini sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, qad­dasallahu sirrahu. Beliau berkata, “Apa­bila bertemu dengan seseorang, hen­dak­lah engkau melihatnya lebih mulia atas dirimu dan engkau katakan, ‘Tentu ia lebih baik dan lebih tinggi derajatnya dariku di sisi Allah SWT.’
Bila yang engkau jumpai adalah se­orang anak yang masih belia usianya, ka­takanlah, ‘Anak ini sungguh belum ber­buat durhaka kepada Allah SWT sedang aku sungguh teramat banyak berbuat durhaka dan kemaksiatan kepada-Nya. Sungguh tiada diragukan bila ia lebih baik dariku.’ Dan bila yang engkau jumpai ada­lah seseorang yang sudah berumur, kata­kanlah, ‘Sungguh orang ini lebih dahulu ber­ibadah kepada Allah SWT jauh sebe­lum aku, (maka sungguh tiada diragukan bila ia lebih baik dariku).’
Bila yang engkau jumpai adalah se­orang yang alim berilmu, katakanlah, ‘Sungguh orang ini telah dianugerahi se­suatu yang belum diberikan kepadaku, telah sampai kepada pengetahuan yang aku belum mengetahuinya, telah menge­tahui berbagai sesuatu yang belum aku ketahui, dan ia beramal dengan ilmunya, (sedang aku beramal dengan kebodoh­anku, maka sungguh tiada diragukan bila ia lebih baik dariku).’
Bila yang engkau jumpai adalah se­orang yang bodoh, tidak berilmu, kata­kanlah, ‘Sungguh orang ini, bilapun ber­buat dosa, ia berbuat dosa dengan ke­bodohannya, sedangkan aku berbuat dosa dengan ilmuku, dan sungguh aku tidak tahu bagaimana keadaannya di saat-saat kematian datang menjemput dan tidak tahu pula bagaimana diriku di saat-saat kematian menjemput diriku nantinya.’
Bila yang engkau jumpai adalah se­orang yang kafir, katakanlah, ‘Sungguh aku tidak tahu, boleh jadi kelak ia akan mati dengan husnul khatimah dan amal yang baik sedang aku boleh jadi pula akan menjadi kafir dan mati dalam ke­adaan su’ul khatimah — na`udzu billahi min dzalik (Sehingga, bila demikian adanya, sungguh tiada diragukan bila ia akan lebih baik dariku)’.”
Adapun ungkapan beliau, “…dan jadi­lah engkau seseorang di antara ma­nusia”, maknanya adalah bahwa se­sung­guhnya Allah SWT membenci me­lihat seorang hamba yang membeda-beda­kan diri dari orang lain, sebagai­mana dijelas­kan dalam hadits Nabi SAW.
Itulah sebabnya, sebagian ulama ba­nyak mendawamkan doa ini dalam mu­najat mereka.
Allaahummaj‘alnii shabuuraa waj‘alni syakuuraa waj‘alni fi ‘ainii shaghiiraa wa fii a‘yuninnasi kabiiraa.
“Ya Allah, jadikanlah hambamu ini se­orang yang sabar, dan jadikanlah daku seorang hamba yang senantiasa bersyu­kur atas segala karunia-Mu. Jadi­kanlah daku seorang hamba yang se­nantiasa merasa kecil dalam pandangan mataku dan besar dalam pandangan manusia.”

Maknanya, orang-orang yang hati­nya penuh dengan sifat-sifat kasih sayang dan belas kasih terhadap siapa pun yang ada di atas permukaan bumi, baik dari kalangan anak Adam bahkan juga hewan, selain hewan-hewan yang diperintahkan untuk membunuhnya, de­ngan berbuat kebaikan terhadap mere­ka, niscaya Yang Maha Rahman akan mengasihi dan mencintainya. Karena itulah sayangi dan belas kasihilah siapa pun yang dapat engkau sayangi dari ber­bagai macam dan jenis makhluk Allah SWT, bahkan yang tidak memiliki akal sekalipun, dengan memberikan kasih sayang, berbuat baik kepada mereka, dan banyak mendoakan mereka dengan doa rahmat dan ampunan, niscaya kali­an akan disayangi dan dikasihi oleh para malaikat dan Dia, Yang rahmat-Nya me­li­puti bagi seluruh penduduk langit, yang jumlah mereka jauh lebih besar dari jumlah penduduk bumi.
Seorang shalihin bermimpi bertemu Imam Al-Ghazali. Imam Al-Ghazali pun ditanya, “Apa yang Allah SWT perbuat padamu?”
Imam Al-Ghazali menjawab, “Aku dibawa dan dihadapkan di hadapan-Nya kemudian Allah SWT berfirman kepada­ku, ‘Dengan bekal apa engkau mengha­dap-Ku?’
Maka aku pun mulai menyebutkan amal-amalku.
Lalu Allah SWT berfirman, ‘Aku tidak menerimanya. Sesungguhnya yang Aku terima darimu adalah saat suatu hari se­ekor lalat singgah di atas tempat tintamu untuk minum darinya di saat engkau te­ngah menulis. Kemudian engkau tidak me­lanjutkan menulis sampai lalat itu ke­nyang menghirup darinya karena eng­kau berbelas kasih terhadapnya.’
Kemudian Allah SWT berfirman, ‘Wa­hai para malaikat-Ku, bawalah ham­baku ini dan hantarkan ia ke dalam surga’.”
Teramat mahalnya nilai kasih sayang ini, bahkan Syaikh Nawawi menegas­kan, dan di antara sebab yang menda­tang­kan husnul khatimah di antaranya adalah mendawamkan doa berikut ini:
Allaahumma akrim hadzihil-ummatal muhammadiyyah bi jamiili ‘awa-idika fid-daarain ikraaman liman ja‘altahaa min ummatihi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam.
“Ya Allah, muliakanlah umat Nabi Muhammad ini dengan semua anuge­rah-Mu di dunia dan akhirat sebagai ben­tuk penghormatan dari-Mu bagi mereka yang telah Engkau jadikan sebagai bagian dari umat Baginda Nabi SAW.”

Di antaranya pula mendawamkan doa berikut ini di antara sunnah Subuh dan fardhunya:
Allaahummaghfir li ummati sayyi­dinaa Muhammad. Allaahummarham ummata sayyidinaa muhaamad. Allaahummastur ummata sayyidinaa Muhammad. Allaah­um­majbur ummata sayyidinaa Muhammad. Allaahumma ashlih ummata sayyidinaa Muhammad. Allahumma ‘aafi ummata sayyidina Muhammad. Allahum­mahfazh ummata sayyidinaa Muham­mad. Allahummarham ummata sayyidi­naa Muhammad rahmatan ‘aammah ya rabbal‘aalamiin. Allaahummaghfir li um­mati sayyidinaa muhmmad maghfiratan ‘aammah ya rabbal‘aalamiin. Allaahum­ma farrij ‘an ummati sayyidinaa muham­mad farajan ‘aajilan ya rabbal ‘aalamiin.
“Ya Allah, ampunilah umat penghulu kami, Nabi Muhammad. Ya Allah, rahmatilah umat penghulu kami, Nabi Muhammad. Ya Allah, tutupilah (segala aib dan cela) umat penghulu kami, Nabi Muhammad. Ya Allah, tamballah (segala kekuarangan) umat penghulu kami, Nabi Muhammad. Ya Allah, perbaikilah (keadaan) umat penghulu kami, Nabi Muhammad. Ya Allah, sehatkan dan sejahterakanlah umat penghulu kami, Nabi Muhammad. Ya Allah, peliharalah umat penghulu kami, Nabi Muhammad. Ya Allah, rahmatilah umat penghulu kami, Nabi Muhammad, dengan rahmat yang menyeluruh, wahai Tuhan seru sekalian alam. Ya Allah, ampunilah umat penghulu kami, Nabi Muhammad, dengan ampunan yang menyeluruh, wahai Tuhan seru sekalian alam. Ya Allah, berikanlah kelapangan bagi umat penghulu kami, Nabi Muhammad, kelapangan yang segera tiada tertunda, wahai Tuhan seru sekalian alam.”

Juga dengan mendawamkan doa berikut ini:
Ya rabba kulli syai’ biqudratika ‘alaa kulli syai’ ighfir lii kulla syai’ wa laa tasalnii ‘an kulli syai’ wa laa tuhaasibnii fii kulli syai’ wa a‘thinii kulla syai’.
“Wahai Tuhan segala sesuatu, de­ngan kekuasaan-Mu atas segala se­suatu, ampunilah aku atas segala se­suatu (dari kesalahan yang aku lakukan), jangan Engkau pertanyai aku tentang se­gala sesuatu (dari dosa dan kedurhaka­an yang aku perbuat), jangan Engkau hi­sab aku pada segala sesuatu (dari se­mua keburukan yang aku berani untuk me­lakukannya), dan karuniakanlah ke­padaku segala sesuatu (dari segala ke­baikan di dunia dan akhirat).”

Sabtu, 18 Januari 2014

Macam Hukum

HukumAqly


HukumAqly ada tiga, yaitu:
1. Wajib, artinya perkara yang tidak boleh tidak akan adanya bagi ‘aqal fikiran.
2. Mustahil, artinya perkara yang tidak boleh tidak akan tiadanya bagi ‘aqal.
3. Jaiz, artinya perkara yang adanya dan tiadanya dapat diterima ‘aqal.
  

Hukum Syar’i


        Hukum syar’i ialah perintah Allah Ta’ala atas perbuatan mukallaf (yang diberatkan/ yang diberi tanggung jawab), maka disebut perintah yang memberatkan (taklif) disebut juga sebagai perintah yang jelas, sebab ditentukan syaratnya atau sebabnya.

Hukum syar’i ada tujuh, yaitu:
1. Wajib, artinya perkara yang jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan mendapat dosa.
2. Sunnah, artinya perkara yang jika dikerjakan mendapat pahala.
3. Haram, artinya perkara yang jika dikerjakan mendapat dosa dan jika ditinggalkan mendapat pahala.
4. Makruh, artinya perkara yang jika dikerjakan tidak mendapat dosa, tetapi perbuatan tersebut tidak disukai Allah dan jika ditinggalkan mendapat pahala.
5. Mubah, artinya “harus syar’i”, yaitu perkara yang jika dikerjakan ataupun ditinggalkan tiada mendapat dosa atau pahala.
6. Shahih (sah), artinya perkara yang lengkap segala syaratnya dan segala rukunnya.
7. Bathal, artinya perkara yang kurang syaratnya atau rukunnya.
  
Hukum ‘Ady (Adat/Kebiasaan)

           Hukum ‘ady artinya menetapkan suatu perkara bagi suatu hal, atau menetapkan suatu perkara pada suatu hal dengan alasan perkara tersebut berulang-ulang.
1. Pertambatan/penetapan keadaan suatu perkara dengan keadaan perkara lainnya. Misalnya keadaan kenyang dengan keadaan makan.
2. Penetapan ketiadaan suatu perkara dengan ketiadaan perkara lainnya. Misalnya ketiadaan kenyang dengan ketiadaan makan.
3. Penetapan keadaan suatu perkara dengan ketiadaan perkara lain. Misalnya keadaan dingin dengan ketiadaan selimut.
4.  Pentapan ketiadaan suatu perkara dengan keadaan suatu perkara lain. Misalnya ketiadaan hangus dengan adanya siraman air.

Sekarang anda telah mengetahui perbedaan wajib syar’i dengan wajib ‘aqly. Jika disebutkan wajib atas tiadp mukallaf maksudnya ialah wajib syar’i. Jika disebutkan wajib bagi Allah Ta’ala atau bagi Rasulullah, maka maksudnya ialah wajib ‘aqly. Jika dikatakan jaiz bagi mukallaf, maka maksudnya jaiz syar’i. Jika dikatakan jaiz bagi Allah Ta’ala, maka maksudnya adalah jaiz ‘aqly.

Yang wajib pada Allah ‘Azza wa Jalla dengan tafshil disebut sifat dua puluh, yang telah berdiri dalil ‘aqly dan naqly atasnya. Wajib atas tiap mukallaf mengetahui dengan ijmaly saja didalam perkataan (bersifat Allah Ta’ala dengan setiap sifat  kesempurnaan. Adapun yang mustahil pada Allah ‘Azza wa Jalla dengan tafshil ada 20 perkara, yaitu lawan dari dua puluh sifat yang wajib bagi Allah ‘Azza wa Jalla. Yang mustahil pada Allah ‘Azza wa Jalla dengan ijmaly yaitu yang ada di dalam perkataan “Maha Suci Allah dari dari setiap sifat kekurangan dan dari perkara yang terbayang (terbersit) di hati.”

Rabu, 15 Januari 2014

Maulid Nabi Muhammad SAW 1435 H

Kitab Bidayah Wannihah (Ibnu Katsir): ibnu katsir memuji amalan maulid khalifah sultan almuzaffar (saudara ipar shalhuddin al ayubi) yang buat maulid diseluruh negeri tiap tahunnya.

  • Senin, 12 rabiul awal : hari kelahiran nabi
Rasulullah SAW sendiri mensyukuri atas kelahirannya.


 عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ . رواه مسلم”


Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku”. (H.R. Muslim, Abud Dawud, Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah dan Baghawi).

  • 12 rabiul awal : Nabi tiba dimadinah dalam peristiwa isra mi’raj 

Sahabat Ansor berdiri Menyambut Nabi.
Sahabat memukul Rebana dan Syair:
“Thala’al badru ‘alayna – Mintsaniyatil wada’
Wajaba syukru ‘alaina — mada’a lilahi da’i

  • Pembacaan Burdah dalam acara Maulid 1435 H






"MENGABDI UNTUK BERBAKTI"

___________________________

Powered by: Blogger