Pertama : Menyucikan Najis
NAJIS
Pengertian
Umum
Dalam majaran Islam sebelum mengerjakan
beberapa ibadah, terutama shalat, disyaratkan bersuci terlebih dahulu, baik itu
dari najis atau hadats. Hal itu disebabkan karena Islam mengajarkan umatnya
untuk senantiasa membersihkan diri, baik lahir maupun batin. Kebersihan ini
sangat erat kaitannya dengan ibadah utama dalam Islam, yaitu shalat. Berikut
beberapa pembagian dan tahapan dalam menyucikan diri dari najis.
Menyucikan
Najis
Najis adalah setiap benda yang haram untuk
dimakan secara mutlak (kecuali dalam keadaan terpaksa) bukan karena
menjijikkan. Najis dibagi dalam tiga macam.
- Najis
Mughalladzah (berat)
- Najis
Mukhaffafah (ringan)
- Najis
Mutawassithah (sedang)
Najis ini hanya tertentu pada anjing dan babi
serta keturunnya dan binatang yang lahir dari keduanya melalui kawin silang
antara anjing dan babi, atau keturunan silang dengan hewan lain yang suci.
Adapun cara menyucikan najis mughalladzah
adalah membasuh dengan air sebanyak tujuh kali dan salah satu dari basuhan
dicampur dengan debu yang suci. Campuran debu ini bisa dilakukan pada basuhan
yang mana saja. Namun cara yang lebih sempurna adalah pencampuran dengan debu
dibasuhan yang pertama. Bisa pula dengan Lumpur atau pasir yang mengandung
debu, sebagai pengganti dari debu. Air banjir yang keruh sudah dianggap cukup
dalam pencampuran debu ini, tanpa harus mencampurinya dengan debu. Untuk
terhitung satu basuhan, benda dan sifat najis harus sudah hilang pada saat
basuhan pertama. Jika tidak, maka harus diulang-ulang sampai hilang, baru
dilanjutkan pada basuhan yang kedua, ketiga dan seterusnya.
2. Najis Mukhaffafah
Adalah najis yang ringan. Masuk dalam kategori
ini hanyalah kencing bayi laki-laki yang belum makan apa-apa selain air susu
ibu sebagai zat penguat tubuh dan umurnya belum mencapai dua tahun. Adapun
kencing bayi perempuan tidak masuk dalam kategori ini, melainkan pada najis
Mutawassithah. Cara menyucikannya ialah cukup dengan memercikkan air pada
tempat yang terkena najis, setelah menghilangkan benda dan sifat-sifat najisnya
(basahnya air kencing) terlebih dahulu.
3. Najis Mutawassithah
Najis Mutawassithah ini dibagi menjadi dua
macam :
a.
Najis Hukmiyah
Adalah najis yang mana benda, rasa, baud an
warnanya, sudah hilang, atau tidak tertangkap oleh indera kita. Misalnya
kencing yang sudah mongering. Cara menyucikan najis ini cukup dengan
mengalirkan air pada tempat yang terkena najis.
b.
Najis Ainiyah
Adalah najis yang slah satu dari benda (ain),
rasa, baud an warnanya masih ada atau tertangkap oleh indera. Misalnya kotoran
hewan dan lain sebagainya. Adapun cara menyucikannya adalah dengan membasuh
najis tersebut sampai benda dan sifatnya hilang. Jika masih bau dan warnanya,
maka apabila sukar dihilangkan, wajib menggosoknya tiga kali dengan ujung
jari-jari. Dan jika masih tetap saja tidak dapat dihilangkan, maka dihukumi
suci.
Macam-macam
Najis Mutawassithah
Najis Mutawasstha bila disimpulkan ada lima belas macam :
1. Setiap benda cair yang memabukkan,
seperti khamer dan sejenisnya.
2. Air kencing, selain air kencingnya
bayi laki-laki di bawah 2 tahun yang belum makan apa-apa selain air susu ibu.
3. Madzi (cairan berwarna putih agak
pekat yang keluar dari alat kemaluan.
(Cairan madzi biasanya keluar ketika
syahwat sebelum ejakulasi).
4. Wadi (cairan putih, keruh dan kental
yang keluar dari alat kemaluan.
(Wadi biasanya keluar setelah
kencing ketika ditahan, atau saat membawa benda berat).
5. Tinja atau kotoran manusia.
6. Kotoran hewan, baik bisa dimakan
dagingnya atau tidak.
7. Air luka yang berubah baunya.
8. Nanah, baik kental atau cair.
9. Darah, baik darah manusia atau
lainnya, selain hati dan limpa.
10. Air empedu.
11. Muntahan, yaitu benda yang keluar
dari perut ketika muntah.
12. Kunyahan hewan yang dikeluarkan dari
perutnya.
13. Air susu hewan yang tidak bisa
dimakan dagingnya selain manusia. Namun, jika air susu itu keluar dari anak
yang belum mencapai umur baligh (9 tahun), maka dihukumi najis. Begitu pula air
susu orang laki-laki, jika ada.
14. Semua bagian tubuh dari bangkai,
kecuali bangkai belalang, ikan dan jenazah manusia. Yang dimaksud bangkai
disini adalah hewan yang mati tanpa melalui sembelihan secara syara’ seperti
mati sendiri, terjepit, ditabrak kendaraan atau lannya.
15. Organ hewan yang dipotong/terpotong
ketika masih hidup (Kecuali bulu atau rambut hewan yang boleh dimakan
dagingnya).
Cara
menyucikan lantai yang terkena najis
Najis Mutawassithah juga bisa disucikan dengan
cara yang cukup praktis, yaitu dengan cara menjadikan najis Hukmiyah terlebih
dahulu, yaitu dihilangkan bau, rasa dan warnanya. Setelah itu cukup mengalirkan
air. Hal ini dimungkinkan ketika di tengah-tengah lantai ada kotoran ayam
misalnya, maka tidak perlu mengepel semua lantai, cukup dibuang kotorannya dan
digosok dengan semisal kulit kelapa, kain, atau batu bata sehingga hilang
sifat-sifat najisnya lantas cukup dialirkan air.
Bahan
untuk Menyucikan Najis
Adapun benda yang dapat menyucikan najis ada
dua macam, yaitu air dan debu (untuk najis mughalladzah). Dengan syarat
keduanya adalah harus suci dan menyucikan.
ISTINJA’
Cara Bercebok atau Istinja’
1.
Bercebok memakai air
- Dzakar : Laki-laki yang sudah membuang air kecil hendaknya mengurut dzakarnya, dengan cara meletakkan jari telunjuk tangan kirinya di bagian bawah dzakar sedangkan ibu jarinya berada di atasnya, atau dengan cara melangkah sebanyak tujuh puluh langkah, atau berdehem, artinya segala cara bisa dilakukan untuk meyakini semua kencingnya sudah keluar, setelah diyakini semua kencingnya keluar, maka menyiramnya dengan air.
- Farji : Bagi perawan disunnahkan memasukkan satu jari tangan kirinya ke dalam lubang keluarnya kencing sambil menyiramnya. Sedangkan perempuan janda harus menyiram semua yang tampak dari farjinya ketika duduk berjongkok.
- Dubur : Dalam hal ini disunnahkan menggosokkan jari tengah tangan kirinya sambil disiram hingga bersih, lalu jari tersebut dua atau tiga kali ke tanah atau tembok. (Apabila setelah istinja’ masih tercium baru jarinya maka tempat istinja’ itu dihukumi najis menurut sebagian ulama karena bau itu sebagai bukti masih tersisanya benda najis, dan ada yang mengatakan tidak najis, karena bau itu hanya membuktikan najisnya jari tersebut, sehingga menurut pendapat yang pertama sunnah mencium jemari tangan setelah istinja’ dan tidak sunah menurut pendapat kedua).
2.
Bercebok memakai batu
Batu adalah salah satu bahan untuk beristinja’.
Sama dengan batu adalah benda padat yang suci, yang bisa menghilangkan kotoran,
dan tidak dimuliakan syara’.
Syarat-syarat istinja’ :
- Keluar
dari dua kemaluan (jalur depan dan belakang)
- Kotorannya
belum kering.
- Kotorannya
tidak melumuri bagian pantat yang merapat ketika berdiri..
- Tidak
melumuri hasyafah (penes)
- Tidak
terputus-putus
- Tidak
pindah anggota lain
- Tidak
terekena najis atau benda basah lain
- Diusap
tiga kali
- Satu
usapan merata pada semua tempat najis
- Bersihnya
tempat najis (setelah istinja’)
Cara
Beristinja’
a.
Laki-laki
Untuk laki-laki cukup menggosokkan batu atau
sesamanya (semua benda padat yang suci, bisa menghilangkan kotoran, dan tidak
dimuliakan syara’) tiga kali di sisi yang berbeda, baik dengan memakai satu
batu yang memiliki tiga sisi atau lebih atau dengan memakai tiga batu atau
lebih. Praktik ini untuk kubul.
Sedangkan untuk dubur, maka disunnahkan gosokan
pertama dimulai dari bagian depan pantat kanan dan diputar pelan-pelan, begitu
pula gosokan kedua tapi dimulai dari bagian kiri, sedangkan untuk usapan ketiga
maka digosokkan pada kedua dan wasir, setelah itu disiram dengan air.
Praktik istinja’ di dubur ini sama antara
laki-laki, perempuan dan orang banci.
b.
Perempuan
Perempuan yang masih perawan bila mau
beristinja’ dengan batu maka cukup dengan menggosokkan batu ke lubang farjinya,
sedangkan untuk janda maka harus menggosokkan batu pada lubang farji yang wajib
dibasuh ketika mandi janabah.
Praktik istinja’ untuk perempuan ini bila dia
meyakini bahwa kencingnya hanya keluar dari lubang kencingnya tanpa melumuri
lubang farji (tempat masuknya dzakar, keluarnya darah haid dan sejenisnya,
serta keluarnya mani), bila dia meyakini melumuri pada lubang farjinya, maka
harus menggunakan air.
Praktik ini bila mengikuti pendapat ulama’ yang
memperbolehkan seorang perempuan istinja’ dengan batu.
c.
Khuntsa (memiliki dua alat kelamin)
Orang yang banci bila mau beristinja’ maka alat
laki-laki sama dengan praktik laki-laki, dan untuk alat perempuan sama dengan
praktik perempuan. Praktik ini bila mengikuti pendapat ulama’ yang memperbolehkan
seorang banci juga boleh beristinja’ dengan memakai batu.