Cerita berikut ini
bisa kita baca dalam kitab Uqûdul Lujjain karya Syekh Nawawi
al-Bantani. Alkisah, seorang saleh mengunjungi rumah saudaranya yang juga
terkenal saleh. Sebut saja Dullah dan Darsun. Setidaknya tiap tahun Dullah
pergi menjumpai saudaranya itu.
Kali ini hampir saja Dullah tak bertemu Darsun. Begitu mengetuk pintu, yang
terdengar adalah suara istri Darsun, "Siapa?"
"Saya saudara suamimu, datang untuk mengunjunginya"
"Suamiku sedang mencari kayu. Semoga ia tidak dikembalikan Allah ke rumah
ini lagi." Dari balik pintu itu istri Darsun kemudian terus mencaci-maki
suaminya. Habis-habisan.
Dullah hanya bisa menelan ludah, hingga akhirnya ia melihat Darsun pulang
membawa kayu bersama seekor singa. Ya, Darsun meletakkan kayu itu di atas
punggung binatang yang terkenal buas itu.
Sembari menurunkan kayu dari punggung singa, Darsun berujar kepada istrinya,
"Kembalilah ke dalam. Semoga Allah memberkatimu," katanya yang lantas
mempersilakan Dullah masuk ke dalam rumah.
Sambil mengucapkan salam, Darsun menampakkan air muka gembira menyambut
kunjungan saudaranya itu. Tak lupa ia sajikan makanan untuk Dullah. Pertemuan
pun terasa cair dan hangat.
Dullah lalu berpamitan. Tapi satu hal yang tetap menancap di pikiran Dullah:
kekagumannya terhadap kesabaran Darsun menghadapi istrinya yang super cerewet,
gemar mengolok suami sendiri, bahkan seperti melaknatnya. Darsun tak membalas
lemparan kotoran dengan lemparan serupa.
Tahun berikutnya, Dullah berkunjung lagi. Sesaat selepas mengetuk pintu,
sambutan ramah datang dari istri Darsun. Ucapan "Selamat datang"
meluncur, disusul dengan pujian terhadap tamu. Perempuan itu juga memuji Darsun
sembari menunggunya pulang.
Seperti biasa, Darsun pulang dengan membawa kayu bakar. Hanya saja, hari itu ia
tak lagi bersama singa. Beban kayu bakar ia pikul sendiri di atas pundak.
Darsun terlihat kian payah. Tapi sambutan yang menyenangkan terhadap saudaranya
itu tidak berubah.
Tentang dua suasana berbeda yang ia alami, sebelum pamit Dullah memberanikan
diri bertanya kepada Darsun. Mengapa perempuan yang menyambutnya berbeda dari
perempuan tahun sebelumnya? Kemana pula singa perkasa yang dulu menggotong kayu
itu?
Darsun memberi tahu, "Saudaraku, istriku yang berperilaku tercela itu
telah meninggal dunia. Aku berusaha sabar atas perangai buruknya, sehingga
Allah memberi kemudahanku untuk menaklukkan singa. Karena kesabaranku itu. Lalu
aku menikah lagi dengan perempuan salehah. Aku sangat berbahagia dengannya.
Hingga singa itu dijauhkan dariku, dan memaksaku memikul sendiri kayu
bakarku."
Apa yang diceritakan Syekh Nawawi ini tentu bukan ingin melegitimasi perangai
buruk seorang istri. Karena dalam kitab yang sama, ia berulang kali
mengharuskan perempuan bersikap patuh dan menjaga tata krama terhadap suami.
Pesan moral dititikberatkan kepada cara suami menyikapi perilaku istri. Ketika
situasi mendesak suami menghadapi kemungkinan terburuk, maka bersabar adalah
langkah paling bijak. Sabar berarti kuat, bukan lemah, apalagi kalah. Sabar
juga bisa menjadi modal dasar bagi usaha untuk memperbaiki. Kemenangan dan
kemuliaan Darsun dalam kisah tersebut tercermin dari keistimewaan yang ia
peroleh, sebagai imbalan dari kesabarannya yang luar biasa itu.
Hal sama juga bisa terjadi sebaliknya, yakni ketika istri terpaksa menghadapi
perilaku suami yang jauh dari dambaan. Kesabaran adalah pilihan utama. Karena,
sebagaimana dikutip Syekh Nawawi, Rasulullah bersabda:
Ù…َÙ†ْ صَبَرَ عَلىَ سُÙˆْØ¡ِ Ø®ُÙ„ُÙ‚ِ زَÙˆْجَتِÙ‡ِ Ø£َعْØ·َاهُ اللهُ تَعَالَÙ‰ Ù…ِØ«ْÙ„َ Ù…َا Ø£َعْØ·َÙ‰ Ø£َÙŠُّÙˆْبَ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ السَّلاَÙ…ُ Ù…ِÙ†َ الأَجْرِ ÙˆَالثَÙˆَابِ
"Siapa yang bersabar atas perangai buruk suami(istri)nya maka Allah memberinya ganjaran yang setimpal dengan anugerah yang diberikan kepada Nabi Ayub 'alaihis salam..."
*) Dullah dan Darsun
adalah nama rekaan yang tak disebut Syekh Nawawi. Keduanya digunakan sekadar
untuk memudahkan cerita.
Sumber : http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,51-id,62314-lang,id-c,hikmah-t,Karomah+Lelaki+Beristri+Cerewet-.phpx
0 komentar:
Posting Komentar